30 Januari 2005

Warna-warni Takdir Marwah




Oleh Zulkifli Al-Humami
____________________


Marwah Daud Ibrahim menyimpan banyak “mutiara” politik. Di sela-sela banyak orang masih memandang kaum hawa sebelah mata, kiprahnya sebagai politisi perempuan menambah deret alasan betapa penting biografi politiknya dibaca. Bintang dari Timur adalah buku yang merekam jejak langkah politik perempuan kelahiran Soppeng, Sulawesi Selatan, ini.

Mulanya, Suradi, seorang wartawan politik yang bertugas di gedung DPR/MPR, menawarkan niat menulis buku tentang Marwah. Ia tercenung. Perempuan berbintang scorpio ini merasa tak ada yang menarik untuk “direkam” dari karirnya sebagai anggota DPR dan pengurus DPP Partai Golkar. Namun, setelah merenung lama, mantan Wasekjen PB HMI ini sadar, ternyata sudah sepuluh tahun lebih ia berkecimpung di gelanggang politik. Ia merasa bangga kiprah politiknya selama ini menjadi serpihan kecil yang ikut melukis sejarah politik Indonesia di era kontemporer.

Bagi Marwah, setiap zaman dan generasi memiliki logika zaman dan generasinya sendiri. Dengan niat berbagi mimpi dan kisah, akhirnya Marwah mengamini permintaan Suradi. Biografi politik ini ia harapkan menjadi cermin, agar jejak-rekam benih perjuangan yang telah ia semai bersama generasi sezamannya bisa dipupuk, dibesarkan, dan dinikmati buahnya oleh generasi sesudahnya.

Marwah memang fenomenal. Politisi yang juga dimaklumi sebagai cendikiawan ini tidak jarang berani melawan arus. Perseteruannya dengan Akbar Tandjung, bos Partai Golkar kala itu, bahkan telah memasyhurkan namanya sebagai pilotisi yang dikenal lugas dan berani, serta memiliki prinsip pada nilai-nilai demokrasi.

Marwah adalah petinggi Partai Golkar yang justru bersuara lantang menuntut Akbar Tandjung non-aktif dari jabatan Ketua DPR RI, ketika “Bos” partai berlambang pohon beringin itu dibelit kasus Bulogate II. Ketika dugaan penyalahgunaan dana non-budgeter itu terkuak, dan Akabar divonis tiga tahun penjara oleh PN Jakarta Pusat, Marwah kembali mengusik Akbar dengan memintanya non-aktif sekaligus sebagai Ketua Umum Partai Golkar.

Manuver Marwah mengundang reaksi keras di kalangan pimpinan FGP DPR RI, serta pimpinan Partai Golkar yang dekat dengan Akbar. Langkah Marwah dinilai kebablasan dan telah merugikan kepentingan fraksi serta partai. Terhadap sikap mbalelo¬-nya itu, sejumlah pimpinan FGP DPR RI dan beberapa petinggi Partai Golkar menyarankan agar Marwah diberi sanksi keras. Ada yang mengusulkan agar ia dipecat dari fraksi.

Padahal menurut fungsionaris KAHMI ini, ia tidak mempunyai rasa permusuhan pribadi dengan Akbar. Bagi Marwah, semua itu didasarkan atas pemahamannya ihwal proses demokratisasi. Di mata Marwah, amanat reformasi yang terkait dengan demokratisasi, keadilan, dan kepastian hukum harus terus dijalankan. “Saya berharap rakyat dan partai saya sejalan, tapi kali ini ada perbedaan. Dan saya memilih mewakili rakyat, apa pun risikonya,” ungkapnya lugas.

Perumpuan berdarah Bugis ini juga dikenal dekat dengan mantan Presiden BJ Habibie. Kedekatan itu terbangun terutama ketika Marwah diminta Habibie bergabung di BPPT, setelah ia merampungkan studi S2-nya di AS tahun 1983. Selama kurang lebih sepuluh tahun, ibunda Dian Furqani Ibrahim ini bekerja sebagai peneliti di lembaga think-tank yang banyak melahirkan industri pesawat terbang di tanah air itu.

Pada 1990, Marwah turut terlibat dalam pembentukan organisasi ICMI, bersama Habibie. Intensitas Marwah berhubungan dengan Menristek di era Soeharto itu semakin tinggi. Marwah turut sibuk menjalin komunikasi dengan kalangan cendikiawan dari berbagai daerah. Juga, bersama para cendikiwan lain, ia ikut mendorong agar bos BPPT itu bersedia menjadi nakhodanya. Diskusi-diskusi intens pun dilakukan langsung oleh Marwah bersama Habibie. Belakangan, Marwah akhirnya menjabat Sekretaris Umum ICMI.

Kedekatan Marwah dengan Habibie kian lekat manakala ia memperjuangkan mantan Ketua Umum ICMI itu agar terpilih kembali menjadi presiden pada Sidang Umum MPR RI 1999. Usaha ini berakhir anti-klimaks, namun semakin mendekatkan Marwah dengan sang mantan wakil presiden era Suharto itu, walau memicu ketegangan kuat antara dirinya dengan banyak petinggi Partai Golkar. Ketegangan antara kubu Marwah, dulu dikenal kubu Iramasuka, dengan para petinggi Partai Golkar dari fraksi “anti Habibie” berkisar seputar ketidakseriusan mereka dalam mengkonsolidasikan kekuatan partai, sehingga memberi peluang bagi tertolaknya LPJ Presiden Habibie dalam SU MPR RI 1999.

Tonggak perjalanan politik Marwah mulai ditancapkan pada awal 1990-an. Mulanya, doktor jebolan The American University, Washington DC, ini ragu apakah ia sanggup bertahan dan eksis di gelanggang politik yang keras itu. Maklum, profesinya sebagai peneliti di BPPT, dan berbagai aktivitas studinya di luar negeri yang cukup lama, menjadikan perempuan ini terbiasa bergulat dengan dunia keilmuan dan pola pikir rasional. Padahal di panggung politik, urusan kepentingan dan intrik merupakan faktor yang paling dominan.

Setelah bertukar pandangan dan meminta nasihat dari berbagai tokoh, diantaranya Sekjen Golkar kala itu, Rahmat Witoelar, dan mantan Sekjen Golkar Sarwono Kusumaatmaja—yang dikenalnya di Washington DC—serta Prof. A. Amiruddin, mantan rektor dan guru besarnya di Universitas Hasanuddin, Makassar—yang belakangan menjadi wakil ketua MPR RI—akhirnya mantan dosen Pascasarjana UI ini memutuskan terjun ke gelanggang politik. Untuk pertama kalinya, pemilu 1992 mengantarkan Marwah melenggang ke Senayan mewakili daerah Sulawasi Selatan.

Marwah menempati Komisi I DPR yang membidangi masalah pertahanan, keamanan, luar negeri, dan penerangan. Di pos ini, Marwah sempat terlibat Pansus yang membahas RUU Penyiaran yang kontroversial itu. Kenangan Marwah pun tak terlupakan menyangkut nasib aneh RUU Penyiaran itu: ketika DPR dan pemerintah akhirnya menyetujui RUU tersebut untuk diundangkan, tiba-tiba Presiden Soeharto menolaknya mentah-mentah. Marwah kecewa sebab harapan akan lahirnya UU Penyiaran yang baru menjadi pupus.

Pada pemilu 1997, penggagas beasiswa ORBIT ICMI ini terpilih kembali menjadi anggota dewan. Pada periode ini, karir dan aktivitas politiknya semakin menonjol. Setelah Soeharto lengser karena desakan reformasi dan digantikan oleh BJ Habibie, Sidang Istimewa MPR 1998 pun digelar untuk mempercepat Pemilihan Umum. Pada momentum ini, Marwah bersyukur ikut terlibat dalam sistem, bahkan menjadi Ketua Panitia Ad Hoc I BP MPR. Pada SI MPR 1998 itulah Marwah menjadi politisi perempuan yang mengetukkan palu perubahan pertama amandemen UUD 45, yang membatasi masa jabatan presiden RI hanya dua periode saja.

Belakangan, kiprah politik Marwah semakin bercahaya. Pada Pilpres 2004, mantan aktivis HMI ini bahkan sempat meramaikan bursa calon wakil presiden mendampingi Gus Dur yang diusulkan oleh PKB. Meski pencalonannya sebagai wapres bersama Gus Dur akhirnya diganjal oleh KPU, tapi Marwah tetap berbesar hati ia bisa menikmati kesempatan untuk mengambil peran sejarah, sekecil apa pun. Menurutnya, prestasi politik yang hanya bertahan sebelas hari itu perlu disyukuri. Sebab, “setiap detik,” bagi Marwah, “adalah takdir.”

Siapa sangka “takdir” lain muncul. Mulanya ia tampil sebagai calon ketua umum DPP Partai Golkar di Munan Bali. Ia siap melawan Akbar, Surya Paloh, Wiranto, Slamet Efendi Yusuf, dan Agung Laksono. Tapi ketika terakhir para kandidat mengerucut kepada Akbar dan Jusuf Kalla, yang tampil juga sebagai kandidat, Marwah memilih bergabung dengan Akbar dan Wiranto. Ia siap bertarung melawan kubu Jusuf Kalla, Surya Paloh dan Agung Laksono. “Jika Kalla jadi ketua Golkar, maka DPR akan berada di bawah pengaruh eksekutif,” kata Marwah kepada pers, seolah mengingatkan. Dan, di depan telah menunggu taqdir yang lain. []


Catatan:
Resensi ini dimuat di majalah Medium [Edisi 31, 22 Desember 2004-04 Januari 2005].


DATA BUKU
Judul: Bintang Dari Timur
[Biografi Politik Marwah Daud Ibrahim]
Penulis: Suradi, SS
Penerbit: Suara Bebas
Cetakan: November 2004
Tebal: xx + 305 halaman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar