30 April 2005

Wawancara dengan Ulil Abshar-Abdalla perihal Jaringan Islam Liberal (JIL)


Bertepatan dengan ulang tahun Jaringan Islam Liberal (JIL) ke-4 pada 9 Maret 2005, saya mewawancarai Ulil Abshar-Abdalla. Topik utamanya seputar refleksi perjalanan komunitas-jaringan ini dalam mengusung gagasan keislaman yang mencerahkan. Wawancara ini dimuat di majalah Medium, Edisi 23 Maret–05 April 2005.
[Zulkifli Al-Humami]
______________________________


Tinju di Ring Demokrasi


Umat Islam Indonesia dibelit kasus struktural sosial-ekonomi. Namun, kaum Muslim liberal tetap bertengger pada pencerahan pemikiran. Belum menyentuh pemberdayaan umat.

Empat tahun sudah usia Jaringan Islam Liberal (JIL) pada 9 Maret 2005 lalu. Walaupun tak pernah mendeklarasikan diri sebagai organisasi massa (ormas), ada kesan bahwa kalangan Muslim liberal ini seperti berada di antara gelombang caci-maki serta puja-puji. Semua itu memberi makna tersendiri, terangkum dalam pengalaman yang beragam. Boleh jadi, persis seperti jargonnya sendiri: “Islam warna-warni.”

Banyak hal yang dicapai, terutama kegigihannya mengobrak-abrik pakem lama pemikiran Islam: al-islam, ad-dien wa ad-daulah, doktrin yang menjadi pangkal gerakan formalisasi syariat Islam. Untuk amar yang satu ini, deformalisasi syariat Islam, komunitas JIL berada di barisan terdepan. Masyarakat harus diberi penyadaran “bahwa syariat Islam sesungguhnya mengandung banyak masalah yang kompleks,” ujar Ulil Abshar-Abdalla, Koordinator JIL.

Bagi jamaah JIL, formalisasi syariat Islam bukan suatu keharusan. Sebaliknya, pribumisasi Islam justru lebih penting. Di mata Ulil, menantu budayawan sekaligus Kyai Mustofa Bisri, Islam sebagai sebuah ajaran agama belum rampung, dan harus terus ditafsir, “dikompromikan” dengan berbagai nilai dan budaya lokal setempat. Bahkan, penyelarasan Islam dengan peradaban Barat merupakan suatu kemestian sejarah. “JIL adalah komunitas Muslim yang sangat bersemangat dalam menggali akar tradisi Islam untuk menemukan sumber otentik yang bisa memberi pembenaran atas konsep kemodernan,” tutur pemuka JIL ini dengan mimik serius.

Di mata Kang Jalal, seorang pemikir sufisme Islam dari Bandung, JIL adalah sebuah mazhab pemikiran Islam: liberalisme, lawan dari konservatisme. Dan begitulah Imam Ulil memaklumkan orientasi jamaahnya. Komunitas ini pun giat bergulat di arena gerakan pencerahan intelektual. Namun, problem struktural umat Islam di bidang sosial-ekonomi ternyata menuntut tanggung jawab lebih. Bukankah beban kemiskinan, rendahnya pendidikan, dan ketidak-adilan yang dipikul umat tak akan mungkin terkurangi hanya dengan gerakan pencerahan pemikiran?

Bersama Zulkifli Al-Humami dari majalah Medium, Ulil Abshar-Abdalla bediskusi panjang lebar, termasuk kemungkinan JIL tidak hanya berkutat di aras gerakan pemikiran, tapi juga bermetamorfosis menjadi gerakan sosial. Berikut petikan obrolan pada Selasa petang, 15 Maret 2005, di Freedom Institute, Jakarta, pekan silam:

Bagaimana refleksi Anda atas perjalanan JIL selama ini?

Ada beberapa hal yang membuat kita bangga. Dalam tenggat masa itu, ada sesuatu yang membuat diskusi tentang Islam menjadi hidup kembali. Bukan hanya di kalangan akademisi, tapi juag menyebar ke publik yang lebih luas. Ini bisa terjadi karena sebetulnya isu yang sudah lama ada kita munculkan lagi, dan kemudian disebar kembali ke masyarakat untuk didiskusiakan ulang.

Seperti kata banyak orang, isu-isu yang dibawa JIL memang bukan hal baru. Namun tetap memiliki nilai aktual karena stok-stok lama yang menumpuk di “almari” kaum intelektual itu kita bongkar dan kemudian kita angkut ke masyarakat, tentu dengan cara yang populer. Misalnya, melalui wawancara radio yang kita adakan setiap pekan, melalui artikel di media massa, bahkan lewat diskusi di internet.

Memang usaha penyebaran stok pemikiran yang menumpuk itu tidak hanya dilakukan oleh JIL, tapi juga oleh komunitas lain. Tapi yang utama dalam konteks ini adalah adanya gerakan massif dari sudut kampanya ide-ide. Bagi saya, ini cukup perannya untuk membuat: pertama, agar diskusi tentang Islam tidak hanya berputar di lingkaran akademik, tapi juga menerobos ke ruang publik yang lebih luas. Kedua, rangsangan terhadap masyarakat untuk berpikir kembali mengenai apa yang selama ini dianggap telah mapan. Dan dari sisi itu kita sangat berhasil.

Respons publik terhadap isu-isu yang diusung JIL bukankah hanya hangat dan kontroversial di kalangan tertentu saja?

Tentu saja, konsumen ide-ide JIL tidak mungkin masyarakat lapis bawah. Kita tidak meniatkan ke arah situ. Selama ini diskusi mengenai pemikiran Islam kan terjadi di kalangan mahasiswa. Tapi hal itu tidak menjadi soal. Di kalangan yang terbatas itu, kita berhasil merangsang diskusi untuk menggoyang kembali beberapa hal yang sudah dianggap selesai.

Apa yang membuat upaya JIL ini cukup berhasil? Sepertinya resistensi publik juga tidak terlalu berat ketimbang tokoh-tokoh terdahulu yang juga melakukan hal serupa dengan Anda dan JIL?

Ada momentum yang bergerak secara serentak. Pertama, kehadiran internet. Ini tidak bisa kita abaikan, karena sangat vital dalam membentuk ruang publik yang menyediakan space sangat terbuka dan bebas untuk diskusi. Jadi dampak internet dalam merevolusi ruang publik Islam sangat luar biasa. Ini tidak dialami pada zaman Cak Nur maupun Gus Dur dulu. Sebab kita saat ini adalah anak dari generasi revolusi komunikasi. Kedua, momentum perang terhadap terorisme. JIL berdiri jauh sebelum Tragedi WTC, karena itu tidak bisa dikatakan bahwa kita berdiri karena merespons WTC. Tapi, tragedi itu memunculkan respon diskursif mengenai terorisme dan radikalisasi Islam. Itu pula yang membuat diskusi mengenai Islam hidup di mana-mana, karena banyak orang kemudian bertanya ulang ihwal Islam. Jadi perhatian dunia terhadap Islam juga membuat diskusi-diskusi yang selama ini dirintis JIL menjadi hidup.

Ketiga, yang juga menjadi momentum penting adalah kebebasan pers dan booming media. Ini juga membuat diskusi tentang Islam yang kita gagas jadi tercover. Keempat, reformasi yang membawa kebebasan sipil. Keadaan ini membuat dinamika masyarakat Islam sipil semakin hidup. Dulu, kelompok yang sering disebut radikal tidak mendapat kesempatan muncul ke permukaan karena mereka ditekan oleh pemerintah. Tapi di era reformasi semua kelompok bisa mendapat ruang untuk muncul dan menikmati demokrasi. Ibarat ring tinju, sparring partner kita dalam berdiskusi tentang Islam menjadi berimbang. Kaum liberal dan konservatif bisa menikmati ruangan demokrasi ini.

Cita-cita awal JIL yang belum tercapai?

Banyak kalangan yang mengritik orang-orang seperti saya dan kaum liberal lain, karena gerakan kita tidak menjangkau masyarakat banyak, elitis. Ini kritik yang sudah lama kita terima, dan sedang kita pikirkan secara serius. Tapi kenyataanya, kita memang belum bisa membangun basis sosial yang lebih luas. Misalnya, hingga kini kita belum berhasil mempengaruhi diskursus Islam yang berkembang di masjid-masjid. Padahal masjid merupakan level paling rendah yang terkait langsung dengan relasi masyarakat. Di ruang itu pula reproduksi gagasan populer mengenai Islam berlangsung melalui para khatib, da’I, dan penceramah.

Mengapa JIL tidak mampu menjangkau masyarakat lapis bawah itu?

Ada ganjalan besar yang kita hadapi. Terus terang, sebagian besar kalangan masyarakat memiliki persepsi buruk tentang JIL, yng dikampanyekan oleh sebagian juru dakwah Islam di tingkat masjid-masjid itu. Beberapa kali saya mendapat laporan dari teman-teman yang ketika jum’atan mendengar khatib yang mencaci-maki JIL dan mazhab pemikiran Islam liberal. Jadi ada semacam black propaganda terhadap JIL. Saya tidak mengatakan bahwa ini dilakukan secara sistematis, tapi hal itu dilakukan secara serantak.

Oleh da’i per da’i atau sekelompok aliran keagamaan tertentu?

Saya tidak mengatakan itu dilakukan oleh satu kelompok tertentu. Hanya saja, itu bergerak secara sporadis dan berbarengan. Di era kebebasan media, persebaran ide kan mudah sekali, baik melalui majalah, internet, talk show di radio, ceramah, sms, dan banyak sekali medium-medium penyebaran gagasan yang mendiskreditkan JIL. Karena itu, saya tidak bisa mengatakan ada satu pihak yang bersekongkol untuk melakukan black propaganda itu. Tapi kenyataannya, di masyarakat berkembang diskursus yang mendiskreditkan kaum liberal Islam. Kaum liberal dianggap menghalalkan segala hal, antek Barat, alat Amerika.

Ini yang membuat JIL terganjal ketika hendak “masuk” ke masjid-masjid?

Ya, tentu. Beberapa teman yang ingin memasukkan “selebaran jum’at” ke masjid-masjid itu terganjal. Saya lihat, yang paling banyak berkuasa di level itu adalah selebaran jum’at yang dibuat oleh Hizbut Tahrir. Misalnya, buletin al-Islam, atau al-wa’iy. Tampaknya, mereka ingin memonopoli sektor itu. Jadi kalau ada teman-teman yang mau masuk ke sana itu sangat susah. Misalnya, kalau kita minta izin ke takmir, pengurusnya menolak, karena mungkin dipengaruhi oleh kelompok-kelompok semacam itu. Atau, kalau kita menarus selebaran buletin secara in-absentia juga langsung mereka ambil. Jika kita menyebarkan langsung juga dilarang.

Memang ada upaya JIL untuk “menguasai” masjid-masjid sebagai akses penyebaran gagasan?

Oh, iya. Tentu saja. Salah satu pikiran kita adalah bagaimana gagasan-gagasan Islam liberal bisa masuk sampai ke level masyarakat paling bawah. Revolusi gagasan Islam tidak bisa terjadi kalau kita tidak masuk pada sektor itu. Masyarakat Islam secara luas harus dipengaruhi gagasannya. Karena banyak hal yang menurut kita bermasalah menyangkut cara pandang keislamannya. Misalnya, cara pandang yang tidak rasional, tidak menghargai perempuan. Suatu saat, kita harus bisa menguasai masjid-masjid. Menguasai di sini bukan dalam pengertian negatif, tapi maksudnya mempengaruhi diskursus keislaman yang dikembangkan dilevel itu.

Nah, kita menyadari bahwa pada walayah ini kita gagal atau belum berhasil, karena memang ada black campaign yang luar biasa besar dari tokoh-tokoh tertentu. Bahkan pandangan yang berkembang di masyarakat bisa jauh dari fakta-fakta yang ada. Misalnya, anggapan bahwa JIL mengahalalkan bir, babi, tidak shalat. Kita masih menganggap itu sebagai ajaran Islam yang sakral, yang tidak perlu diubah. Kita juga tidak pernah mengatakan bahwa shalat tidak wajib, sebaliknya kita masih menilai sebagai kewajiban personal yang harus ditunaikan oleh orang Islam.

Resistensi terhadap JIL apakah semata karena faktor konservatisme pandangan keagamaan atau sebab lain?

Faktornya sangat kompleks. Pandangan terhadap Islam dibentuk oleh banyak hal. Tapi kalau bisa diringkas seperti ini. Ada perubahan sosial yang membuat kesadaran umat Islam menjadi berbeda. Pertama, perubahan geopolitik global. Kaum Muslim memberi reaksi atas masalah itu dengan istilah al-ghazwu al-fikri, serbuan budaya ekspansi pemikiran dari Barat untuk menaklukkan Islam. Ini istilah yang kerap dipakai oleh teman-teman yang selama ini mengritik JIL. Kesadaran ini merupakan reaksi terhadap Barat, yang tidak pernah ada di era sebelumnya. Sebelum era modern, pada masa Ibnu Rusyd, al-Farabi, al-Ghazali, tidak ada istilah seperti itu. Tak ada istilah, misalnya, serbuan budaya Yunani. Bahkan mereka malah menyambut dengan tangan terbuka masuknya budaya Barat, misalnya Yunani, yang ketika itu disebut sebagai proses Hellenisasi.

Kedua, perubahan struktur sosial umat Islam di Indonesia. Saat ini loyalitas masyarakat Islam terhadap tokoh tradisional mulai berkurang. Kini struktur sosial masyarakat Islam semakin berserak-serak, dan cenderung fragmentatif. Sehingga tidak ada satu organisasi atau entitas yang diposisikan sebagai sentral, dan menjadi kiblat orientasi keagamaan umat Islam. Waktu saya kecil, orientasi keagamaan umat semuanya mengarah pada kyai. Semua pandangan keagamaan yang sampai ke pikiran kita telah difilter oleh kyai. Jadi ada struktur sosial yang cenderung hierarkis-feodal.

Nah, saat ini, struktur sosialnya semakin demokratis dan fragmentatif. Karena itu, ketika orang-orang hendak memahami Islam, mereka bisa langsung menimba dari berbagai sumber. Akhirnya, terjadi sebuah informasi Islam yang terlalu banyak, karena sumbernya banyak dari struktur yang fragmentatif tadi. Dihadapkan pada serbuan informasi semacam ini, orang pasti bingung. Lalu siapa yang harus diikuti pendapatnya? Pada akhirnya, yang paling berkuasa adalah orang yang bisa berbicara keras dan berpengaruh di ruang publik. Di sinilah siapa yang bisa menguasai media memegang peran penting.

Jadi, saat ini, yang menentukan arah diskursus Islam bukanlah intelektual yang mendalami betul tentang Islam, yang kadang mereka tidak sempat menguasai media karena sibuk di ruang kuliah. Tapi yang mempengaruhi publik adalah orang-orang yang menguasai corong-corong media, seperti Arifin Ilham, Aa Gym, Riziq Shihab, dsb. Karena kita menyadari hal itu, JIL kemudian masuk ke arena itu. Sebab kalau tidak menguasai media kita tidak bisa mempengaruhi opini publik. Karena dalam struktur masyarakat yang demikian fragmentatif ini medialah yang didengar pandangannya oleh masyarakat.

Ketiga, membludaknya literatur tentang Islam dalam bahasa Indonesia. Itu belum pernah terjadi dalam skala besar seperti saat ini. Dan booming literatur tentang Islam ini juga faktor yang mempengaruhi cara pandang masyarakat tentang Islam.

Selama ini JIL lebih konsentrasi pada geraka pemikiran. Padahal umat dihadapkan pada problem struktural, ketimpanga sosial-ekonomi. Ada keinginan untuk bermetamorfosis menjadi gerakan sosial?

Kita belum terlalu pasti mengenai kemungkinan itu. Sekarang terbuka dua kemungkinan: JIL akan tetap konsentrasi pada gerakan pencerahan pemikiran, atau JIL ikut terlibat dalam memperbaiki struktur sosial-ekonomi umat Islam. Kita belum bisa memastikan sikap, karena dua hal ini adalah dua tantangan yang berbeda. Maksud saya, tidak mungkin satu kelompok menangani dua hal sekaligus. Selama ini kita sadar bahwa kekuatan kita terletak pada ide dan gagasan. Nah, kekuatan yang sudah ada inilah yang akan kita maksimalkan. Kita belum tahu apakah suatu saat mempunyai kekuatan atau sumber daya untuk terjun ke sektor sosial-ekonomi.

Tapi masalah struktural itu juga persoalan yang jadi keprihatinan saya selama ini. Saya trenyuh menyaksikan kehidupan sosial umat Islam yang secara sosial-ekonomi miskin, pendidikan rendah, dan skill personalnya juga sangat lemah. Kondisi umat yang demikian ini sangat menyakitkan bagi saya. Akhirnya, saya berpikir bahwa harus ada pembagian tugas. Ada orang-orang yang menangani sektor pemberdayaan sosial-ekonomi, dan harus ada juga yang menangani pencerahan intelektual.

Namun, tidak tepat juga kalau JIL dituntut untuk melaksanakan pemberdayaan sosial-ekonomi, karena kita memang tidak kompeten di wilayah itu. Tapi kalau JIL tidak melakukan hal itu bukan berarti kita menganggap masalah tersebut tidak penting untuk ditangani. Saya pikir, ini adalah tugas yang relevan dipikul oleh ormas besar seperti NU atau Muhammadiyah. Kalau saya suatu saat menjadi ketua NU, saya tidak akan melulu konsentrasi pada upaya pencerahan pemikiran, tapi berupaya melakukan penguatan civil society di NU, dan pemberdayaa ekonomi.


Ngomong-ngomong, Anda punya cita-cita menjadi pemimpin NU?

Ya, saya punya keinginan ke arah itu. Kalau suatu ketika iradat Tuhan, atau kersane Allah, memungkinkan, saya ingin jadi ketua NU. Tugas pemberdayaan masyarakat sipil dan pemberdayaan ekonomi harus diemban oleh ormas seperti NU dan Muhammadiyah. Sedangkan kekuatan JIL di bidang itu kan lemah sekali.

Setidaknya, JIL bisa mengusung wacana sosial-ekonomi. Tapi selama ini tidak pernah terdengar?

Kalau JIL membahas soal pemberdayaan ekonomi, tapi kita tidak punya kerjaan yang konkret, nanti diketawain banyak orang. Kalau sekadar ngomongin ekonomi Islam, ya mungkin saja dilakukan. Tapi saya tidak mungkin puas hanya berhenti di situ. Sementara kalau harus dituntut juga untuk melakukan pemberdayaan ekonomi umat, saya dan JIL tidak punya kapasitas.

Sekadar memunculkan wacana kritis terhadap ketimpangan struktur sosial-ekonomi juga tidak mungkin?

Pertama, kita tidak menganggap itu sebagai kompetensi JIL. Kalau sekadar ngomong ya bisa. Saya sendiri punya keinginan besar untuk ikut menyumbangkan sesuatu guna memperbaiki kondisi sosial-ekonomi umat. Menurut saya, harus ada inisiatif di dalam umat Islam sendiri secara massif untuk membangun lembaga keuangan yang melayani orang kecil. Semacam Grammin Bank di Banglades, yang memberikan kredit murah kepada masyarakat kecil. Kita tidak mungkin hanya berharap hal itu dari pemerintah semata. Di bidang pendidikan juga perlu ada modernisasi pendidikan secara besar-besaran di kalangan umat Islam. Kalau hal itu tidak terjadi saya pesimis umat Islam bisa muncul kembali sebagai komunitas yang dihormati di dunia. Tapi sekali lagi, JIL tidak kompeten di situ, sebab kita sama sekali tidak punya kaki untuk berdiri.

Sebagian kalangan mengkritik isu-isu yang diusung JIL cenderung formalistik, misalnya soal jilbab, deformalisasi syariat Islam, ketimbang isu-isu yang lebih struktural tadi?

Pada isu-isu struktural (sosial-ekonomi), masalahnya jauh lebih kompleks dari yang kita kira. Pelbagai LSM yang jauh lebih kompeten terjun di wilayah itu saja belum menunjukkan sukses berarti. Dan kalau kita lihat LSM yang paling maju adalah yang bergerak di isu-isu politik. Sementara LSM yang bergerak di isu-isu sosial-ekonomi tidak cukup maju. Di bidang politik ada Kontras, Imparsial, LBH. Tapi di bidang sosial-ekonomi coba Anda sebutkan. Maksud saya, kalau LSM-LSM yang kompeten bergerak di bidang itu saja tidak cukup sukses, lantas bagaimana dengan JIL kalau bergerak dan mengambil isu-isu itu.

Karena kita kompeten pada gerakan pencerahan pemikiran, maka yang menjadi kritik kita adalah isu-isu yang berkaitan dengan politik, seperti isu syariat Islam. Inilah yang menjadi isu utama JIL untuk melakukan kritik. Dan pada level ini, kita lumayan berhasil menyadarkan masyarakat bahwa sejatinya syariat Islam memiliki masalah-masalah yang kompleks.

Perilah tema “liberal”, apakah tidak merujuk pada, misalnya, konsep Asghar Ali Engineer yang bermakna “pembebasan” pada aspek sosial-ekonomi?

Harus dibedakan antara kata “liberal” dengan “liberalisasi”. Kalau kita rujuk dalam pengalaman Katolik, misalnya, liberation theology berbeda dengan liberal theology. Yang pertama inspirasinya bersumber dari Marxisme.

Termasuk konsep Asghar Ali?

Ya. Dalam beberapa hal dia sangat sosialis, meskipun tidak juga sosialis tulen, karena sebenarnya gagasan politiknya sangat sekuler. Tapi secara sosial-ekonomi, dia itu sosialis. Nah, pondasi Islam liberal bukanlah Marxisme, tapi filsafat liberal, yang menekankan kebebasan individu. Jadi ini memang tradisi pemikiran yang berbeda. Ini saya sadari betul, dan karena itu tema-tema yang lebih menonjol kita usung kritik terhadap kapitalisme. Bagi kita, kapitalisme itu oke saja. Tentu bukan berarti tidak ada kritik terhadapnya, tapi dasarnya tetap kita bisa terima. Itu sebabnya, kita tidak menganggap sosialisme sebagai jalan aternatif. Dalam hal ini, kita berseberangan dengan teman-teman yang gagasannya liberation theology.

Jadi, Islam liberal bukan Islam kiri. Dan kalau dirujuk atau diletakkan dalam background sejarah filsafat Barat, Islam liberal adalah Islam kanan, dalam pengertian gagasan-gagasannya didasarkan pada filsafat liberal yang menekankan kebebasan individu, demokrasi, civil leberty, dsb.

Berarti JIL menerima neo-liberalisme?

Tentu tidak berarti kita menerima secara keseluruhan neo-liberalisme. Kita juga punya kritik terhadap kapitalisme dan globalisasi. Tapi kita tidak menolak dasar kapitalisme sebagai sistem ekonomi, atau globalisasi sebagai kemestian sejarah. Jadi kita tetap kritis menerima kapitalisme, tapi pada akhirnya itulah sistem ekonomi yang available. Menurut pandangan saya, demokrasi, kapitalisme dan sekularisme merupakan satu paket. Tentu kita punya kritik terhadap ketiganya, tapi sebagai satu paket kita menerima itu.

Ketiga hal itu merupakan kemestian sejarah. Lalu bagaimana Islam harus menempatkan diri?

Islam harus deal dengan ketiga hal tersebut, yakni demokrasi, kapitalisme, dan sekularisme. Nah, itulah perbedaan antara kaum Muslim liberal dengan kelompok lain yang mendefinisikan diri sebagai Muslim progresif. Kalau dipetakan secara diametral, orang yang menyebut diri sebagai Islam progresif itu lebih dekat dengan tradisi kiri. Sementara Islam liberal lebih dekat dengan tradisi filsafat Barat yang memang liberal. Itu sebabnya, kita tidak pernah membuat kritik yang tajam terhadap kapitalisme.

Barangkali paradigma ini yang jadi pangkal resistensi kelompok Islam garis keras di Indonesia terhadap JIL?

Inilah yang menarik untuk dianalisis. Kalau diamati, kelompok-kelompok garis keras, seperti Hizbut Tahrir, itu menggabungkan dua hal: pertama, mereka mengajukan Islam sebagai ideologi tandingan tehadap kapitalisme, dan kedua mereka melakukan kritik terhadap kapitalisme seperti halnya kaum kiri. Dalam hal ini, kaum kiri dan kaum Islam garis keras bisa bertemu. Mereka bertemu dalam satu kepentingan: mengkritik kapitalisme dan globalisasi. Jadi memang agak aneh tapi nyata: kaum kiri yang sekuler bertemu dengan kaum garis keras yang Islami. Nah, karena kami berbeda dengan mereka, jadi kami tidak ikut dalam “aliansi” tersebut.

Yang nampak dipermukaan seolah perseteruan JIL versus kelompok garis keras sebatas perihal mazhab pemikiran Islam?

Sebenarnya lebih jauh dari sekadar persoalan itu, tapi memang tidak pernah tereksplorasi. Jadi mungkin sifatnya laten. Selain itu, JIL memang tidak punya kompetensi untuk bicara mengenai ekonomi. Tapi kalau ditanya soal pandangan dasarnya, Islam liberal itu tidak mencurigai Barat, meskipun tidak semua hal kita terima. Misalnya, gaya janggoisme Amerika ala Bush dalam Perang Irak juga kita tolak. Tapi, secara umum, Barat sebagai suatu peradaban bisa kita terima. Bagi saya, Barat itu puncak peradaban untuk masa sekarang. Karena itu, bila umat Islam mau mengambil inspirasi ya harus belajar dari Barat.

Isu-isu toleransi yang selama ini diusung JIL juga bagian integral dari paradigma pemikiran liberal ini?

Itu memang bagian integral dari pemikiran kita. Masyarakat ideal bagi kita adalah masyarakat yang berbasis pluralisme, atau multikulturalisme. Kalau dengan itu teman-teman Hizbut Tahrir menyebut kita sebagai antek Barat, sebenarnya bukan demikian, tapi kita memang mengagumi Barat. Sebab kita harus banyak belajar dari sana, dan bagi saya tidak ada yang salah dengan sikap semacam itu. Bagaimanapun, harus ada usaha untuk membuat konsep-konsep yang datang dari luar untuk menjadi match dengan kerangka Islam.

Dalam konteks ini, Islam tetap penting bagi kita, karena pada akhirnya wadahnya adalah Islam. Dan bagi kami, Islam bukan barang yang sudah selesai. Misalnya, bisa saja Islam disesuaikan dengan sosialisme, atau kapitalisme, atau dengan apa saja. Islam itu lentur sekali, karena itu ia bisa dibentuk sesuai dengan budaya yang berbeda-beda. Itu sebabnya, kita sangat bersemangat menggali tradisi Islam untuk mencari sumber-sumber otentik dalam Islam sendiri yang sebenarnya bisa menjustifikasi konsep-konsep modern tentang kebebasan individu, pluralisme, HAM, ekonomi pasar, dan sebagainya.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar