02 April 2008

Antara Ada dan Tiada


Tulisan ini bersumber dari majalah Nebula [Edisi Khusus No. 04/IV/Maret 2008]. Dalam edisi khusus ini, Nebula menulis mengenai buku-buku perempuan, baik yang bertema tentang perempuan maupun ditulis oleh penulis perempuan. Saya, selaku penerbit Alvabet, termasuk narasumber yang dimintai komentar terkait topik tulisan tersebut.
[Zulkifli Al-Humami]
______________________________


Malam merambat pelan. Alunan “Fur Elise” dari Bethoven mengalir lembut di seantero sudut lantai dua toko buku Gramedia Depok. Di bagian buku sastra, seorang perempuan berjilbab lebar tengah asyik membuka-buka sebuah novel Islami karya seorang penulis Muslimah kenamaan. Kedua matanya menyapu setiap baris huruf cetak yang terpampang di buku tersebut.

Nindi (22) hampir setiap akhir pekan mengunjungi Gramedia Depok. Mahasiswa tingkat akhir di FMIPA UI itu mengaku sangat menggemari karya-karya terbitan penerbit Lingkar Pena (LP). “Bahasanya ringan, gaul, dan mengandung unsur dakwah,” ujar gadis berdarah Padang dan Makassar itu.

Ringan, menghibur, dan sarat nasihat agama memang menjadi ciri khas buku-buku terbitan LP. Untuk meraup lebih banyak segmen pembaca perempuan, penerbit ini melibatkan juga banyak penulis perempuan. Dan kiat itu memang terbukti manjur. Hingga kini jumlah buku LP mencapai ratusan judul, dan sebagian di antaranya bahkan mengalami cetak ulang. “Ada yang sudah 11 kali cetak ulang. Bahkan dalam beberapa bulan ada yang sudah terjual sampai puluhan ribu eksemplar,” ujar Asma Nadia, CEO LP.

Pernyataan Asma ditegaskan oleh Pangestuningsih dari Mizan Public House. Menurut dia, buku-buku bertema perempuan memang sedang laris manis. Sebagai contoh, Pangestuningsih menyebut Perempuan Suci dan Perempuan Terluka adalah dua buku yang mendapat predikat bestseller di Mizan. “Sudah lima kali cetak ulang,: kata CEO Communication and Public Relation Mizan Public House.

Nasib serupa dialami juga oleh penerbit Alvabet. Menurut Zulkifli Al-Humami, dari sembilan judul buku yang ditulis oleh perempuan Muslimah atau yang membahas tentang dunia perempuan, ada beberapa yang mengalami cetak ulang. Salah satunya yaitu Burned Alive, yang mengalami cetak ulang hingga lima kali. “Jumlah eksemplar Burned Alive yang sudah kami luncurkan sebanyak 12.000 eksemplar,” ujar Editor-in-Chief penerbit Alvabet tersebut.

Kendati berbentuk novel, Zulkifli menyebut buku-buku yang diproduksi Alvabet lebih cenderung memilih isu kesetaraan dan antipenindasan kaum perempuan. Dan justru di segmen itulah kiprah para penulis lokal terhitung sangat minim. Itu tercermin dari buku-buku sejenis yang sebagian besar diterjemahkan dari karya-karya para penulis perempuan dari luar Indonesia.

Keluhan serupa dilontarkan pula oleh Kurniawan Abdullah dari Serambi. Menurut dia, untuk tema-tema serius, kiprah para penulis Muslimah lokal memang jauh dari harapan. “Dari enam buku kami yang ditulis oleh para penulis perempuan, tak satu pun yang melibatkan penulis lokal. Ini ironis,” kata Kepala Editor Akuisisi Serambi tersebut.

Alih-alih dibanding dengan sesama penulis Muslimah, bahkan dengan penulis perempuan non-Muslim seperti Carole Hillenbrand dan Karen Armstrong pun penulis Muslimah lokal sangat jauh ketinggalan. “Malah saya pikir, dari sisi kapasitas akademis, penulis perempuan lokal kita harus banyak berkaca pada mereka,” ujar Kurniawan.

Kecenderungan minat masyarakat pun, masih kata Kurniawan, memiliki pengaruh besar bagi laku tidaknya sebuah buku. Dan saat ini, yang menjadi mayoritas justru pembaca-pembaca yang tak mau terlalu banyak berpikir serius. “Masyarakat kita ingin bacaan yang renyah dan instan, ya apa boleh buat! Ini kan soal selera,” ujarnya.

Namun, Kurniawan optimis setidaknya ada geliat yang diperlihatkan para penulis Muslimah hari ini. Itu bisa menjadi potensi yang mengarah kepada masa depan yang lebih indah. Seindah alunan “Fur Elise” dari Bethoven. [Hendi Johari]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar