30 Juli 2007

Harus Berbenah Jika Tak Ingin Ditinggalkan


Tulisan ini bersumber dari harian Kompas (Edisi Senin, 09 Juli 2007). Dalam rubrik Pustakaloka, Kompas menulis perihal IKAPI terkait akan dilangsungkannya semacam musyawarah nasional organisasi tersebut. Dalam tulisan itu, saya—atas nama penerbit Alvabet—termasuk sumber yang dimintai komentar ihwal eksistensi IKAPI hingga saat itu.
[Zulkifli Al-Humami]
______________________________


Logikanya, dengan bertambahnya usia, sebuah organisasi akan menjadi semakin maju, matang, dan tentu saja menjadi semakin kuat dan besar. Namun, dalam kenyataannya hal itu sering kali tidak terjadi. Banyak organisasi, baik di bidang bisnis maupun nonbisnis, justru bertumbangan atau mengalami kemerosotan di usianya yang semakin matang.

Ada berbagai hal yang menjadi penyebab, salah satu yang sering terjadi adalah jalannya organisasi sudah mulai tidak sejalan dengan visi dan misi awal pendiriannya. Gejala seperti di atas tampaknya juga mulai menghinggapi dunia penerbitan di Tanah Air. Kendati belum sampai bubar ataupun ditinggalkan anggotanya, eksistensi Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) belakangan ini mulai dipertanyakan stakeholder atau pemangku kepentingannya, dalam hal ini para penerbit.

Dilihat dari usianya yang sudah lebih dari setengah abad, 57 tahun pada Mei lalu, seharusnya IKAPI sudah berada pada tahapan usia yang cukup matang sebagai sebuah organisasi. Namun, kenyataannya tidak demikian. Dari sisi jumlah anggota, misalnya, yang tercatat sebagai anggota IKAPI lebih kurang 790 penerbit.

Dari sejumlah itu, anggota yang aktif tidak lebih dari separuhnya. Apabila dilihat dari kondisi riil di lapangan, bahwa beberapa tahun belakangan ini jumlah penerbit meningkat dengan tajam, jumlah anggota IKAPI tentu tidak mencerminkan kenyataan sebenarnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa banyak penerbit yang tidak menjadi anggota IKAPI.

Indikator lain tidak berkembangnya Ikapi juga terlihat dari stagnannya jumlah IKAPI cabang atau daerah dari tahun ke tahun. Hingga sekarang, IKAPI baru memiliki cabang di tujuh provinsi, itu pun terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Sumatera. Adapun di wilayah-wilayah lain IKAPI daerah hanya berupa perwakilan yang saat ini juga baru berjumlah tujuh perwakilan.

Melihat kondisi ini, dari segi pengembangan organisasi IKAPI bisa dikatakan kurang berhasil memperbesar dan memperluas organisasinya meskipun diakui bahwa perkembangan penerbitan atau sebagian besar usaha penerbitan buku saat ini masih berpusat di Pulau Jawa dan Sumatera.

Masih disangsikan

Saat ini persoalan yang sangat penting dihadapi Ikapi—sementara ini masih tercatat sebagai satu-satunya organisasi yang mewadahi penerbit buku umum dan pelajaran yang ada di Indonesia—selain pengembangan organisasi adalah soal eksistensi dan kinerjanya yang mulai banyak dipertanyakan oleh para anggotanya.

IKAPI dinilai belum mewakili kepentingan anggotanya sehingga kehadirannya mulai disangsikan karena manfaat yang diperoleh dengan menjadi anggota IKAPI tidak banyak dirasakan.

"Manfaat IKAPI itu baru dalam hal sarana membangun jaringan pertemanan di antara para penerbit. Selama ini IKAPI baru memainkan peran itu, atau paling sebagai penyelenggara pameran," kata Akhmad Fikri dari penerbit LKiS.

Fikri menambahkan, hingga saat ini IKAPI belum memiliki signifikansi sebagai organisasi perbukuan. Peran IKAPI dalam hal mendorong kemajuan dunia perbukuan di Indonesia, menjadi jembatan dari seluruh penerbit, berkaitan dengan persoalan copyright (hak cipta), tata niaga buku, termasuk dalam melakukan kritik terhadap RUU Perbukuan sampai saat ini belum kelihatan gerakannya.

Selain itu, IKAPI juga dianggap kurang tanggap terhadap perkembangan yang sangat cepat di dunia perbukuan. "Dalam persoalan copyright dari penerbit luar negeri, misalnya, sering kali penerbit di Indonesia bersaing dan saling gontok-gontokan untuk merebut copyright dari penerbit tertentu. Nah, persoalan ini seharusnya diakomodiasi oleh IKAPI, bekerja sama dengan pemerintah. Yang justru terjadi adalah perang antarpenerbit. Saya pernah merasakan itu," ungkap Fikri.

Minimnya peran IKAPI dalam persoalan hak cipta ini juga dirasakan oleh penerbit Pustaka Alvabet. "Kami kan banyak memproduksi buku-buku terjemahan dari luar negeri. Untuk itu, kami butuh copyright. Namun, selama ini kami harus berkelahi sendiri. Kami nggak pernah dibantu IKAPI. Padahal, seharusnya IKAPI ikut berperan di sini sehingga kita punya posisi tawar yang lebih kuat dengan penerbit luar negeri," kata Zulkifli dari penerbit Pustaka Alvabet.

Penerbit kecil

Hal lain yang banyak dikeluhkan oleh penerbit terhadap IKAPI adalah kurangnya perhatian terhadap nasib penerbit kecil. "Penerbit kecil itu kan pengetahuannya kalah jauh dibanding penerbit besar, keuangannya kalah jauh, kemampuannya untuk melihat pasar juga kalah jauh. Mestinya IKAPI menjembatani bagaimana supaya jarak itu tidak terlalu jauh. Namun, hal ini tidak dilakukan. Tidak ada pembelaan buat penerbit kecil," kata Antonius Riyanto, pimpinan Agromedia Grup.

Menurut Anton, dalam melakukan pembelaan, harus ada donasi. Donasi bisa berasal dari dana IKAPI atau IKAPI memfasilitasi dan mendorong adanya subsidi penerbit besar ke penerbit kecil. Dengan demikian, dalam urusan mengikuti pameran buku yang diadakan IKAPI, misalnya, penerbit kecil bisa mendapatkan subsidi dalam pembayaran sewa stan, bahkan bebas bayar stan.

"Tidak seperti sekarang ini, penerbit kecil diperlakukan sama dengan penerbit besar, bahkan sering kali penerbit besar justru mendapat perlakukan yang khusus, misalnya dalam memilih lokasi stan," ujar Anton.

Selain kurang peduli terhadap penerbit kecil, IKAPI juga dipandang lebih banyak memberi perhatian kepada penerbit buku pelajaran ketimbang penerbit umum. "Ikapi itu lebih melulu pada penerbit buku sekolah. Padahal, dari sekitar 700 penerbit, hanya ada sekitar 35 penerbit dan sudah besar-besar, omzetnya tinggi. IKAPI mengambil peran apa di sana? Sementara penerbit yang kecil-kecil, konon sampai jual sepeda untuk jadi penerbit, tidak tersentuh oleh IKAPI," kata Anton.

Ia menambahkan, banyak hal yang dibutuhkan penerbit kecil, mulai dari pengenalan pasar, manajemen, pembinaan hukum, seperti hak cipta, bagaimana membeli hak cipta dari luar negeri, juga persoalan biaya ekspedisi.

Hal senada juga diungkap oleh Fikri dari LkiS. " IKAPI terjebak dalam kepentingan-kepentingan praktis. Lebih menyangkut tata niaga buku pelajaran. Nah, ini kan kepentingan praktis dan lebih banyak menyentuh penerbit buku pelajaran daripada kepentingan seluruh anggota. Mestinya IKAPI tidak hanya ngurusin buku pelajaran saja, tetapi bagaimana mereka mampu bernegosiasi dengan pemerintah terhadap berbagai persoalan di dunia perbukuan," papar Fikri.

Arah tidak jelas

Salah satu persoalan mendasar yang menyebabkan IKAPI seakan jalan di tempat adalah karena IKAPI belum mampu merumuskan desain besar atau strategi industri perbukuan di Indonesia.

"Enggak ada strategi di dunia perbukuan di Indonesia. Akibatnya, kegiatan IKAPI hanya parsial saja. Misalnya, pelatihan editor hanya asal ada saja. Namun, bagaimana membangun editor menjadi seperti apa, itu enggak ada. Akibatnya, industri perbukuan di Indonesia seperti jamur saja. Yogyakarta, misalnya, tumbuh menjadi industri buku umum, Surabaya bercirikan buku murah dan Bandung bercirikan buku Islam atau proyek," kata Hikmat Kurnia dari penerbit Agromedia Group.

Menurut Hikmat, apabila ingin membangun industri perbukuan di tahun 2010 dengan bentuk tertentu, semua elemen yang ada harus bisa digerakkan. Dari segi manajemen, penerbitan, keuangan dan pemasaran harus diupayakan. Demikian juga pelatihan orang atau sumber daya manusia, tak lupa harus diupayakan. Dengan demikian, di tahun sekian, industri buku bisa jelas bentuknya.

Jadi, membuat strategi industri perbukuan harus menjadi prioritas utama IKAPI saat ini. Sebagai salah satu organisasi perbukuan yang paling mapan dibandingkan dengan organisasi yang lain, IKAPI diharapkan bisa menjadi payung dari berbagai macam organisasi profesi lain di dunia penerbitan, seperti asosiasi penulis, penerjemah, editor ataupun yang mewakili bagian pracetak.

Perlunya sebuah organisasi atau lembaga payung dalam dunia penerbitan juga diungkap oleh pengamat industri perbukuan dan Sekretaris Jenderal Dewan Buku Nasional Frans Parera. Menurut Parera, apabila menggunakan konsep korporatif, saat ini memang perlu ada payung yang mengorganisasi industri penerbitan.

"Jadi, mesti ada konsorsium baru dengan komitmen yang mampu memajukan industri buku serta minat baca. Konsorsium ini mengoordinasi keseluruhan asosiasi di industri buku. Masing-masing asosiasi dikelola sendiri-sendiri. Knowledge management untuk, misalnya, urusan toko buku, pembaca, perpustakaan, dan di bawahnya ada commercial management. Jadi, ada asosiasi penerbit buku sekolah, asosiasi penerbit buku umum, buku agama, seperti dalam organisasi Kadin dengan bidang-bidangnya. Namun, nanti untuk urusan ke luar negeri atau urusan menggerakkan distribusi, konsorsium yang berperan," papar Parera.

Melihat berbagai persoalan di atas, saat ini IKAPI memang dituntut berubah dan merespons berbagai keluhan serta kebutuhan dari anggota dan pemangku kepentingannya untuk lebih berperan aktif memajukan industri penerbitan. Apabila hal ini tidak dilakukan, bukan tidak mungkin akan muncul organisasi penerbit tandingan dan IKAPI akan ditinggalkan anggotanya.[Anung Wendyartaka/Litbang Kompas]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar