09 Oktober 2009

Menjadi Bangsa Pintar, Meraih Kejayaan




Oleh Zulkifli Al-Humami
____________________


Mengapa masih banyak rakyat miskin di Indonesia—negeri dengan kekayaan alam yang sungguh dahsyat? Begitulah pertanyaan yang kerap muncul dalam benak Heppy Trenggono. Kegelisahan itu membuat pengusaha muda ini  lalu menuangkan pengalamnnya di buku Menjadi Bangsa Pintar.

Buku yang diterbitkan oleh Penerbit Republika ini merupakan bentuk keprihatinan terhadap berbagai persoalan kebangsaan. Dalam buku ini setebal 164 halaman ini, Heppy Trenggono menyuguhkan kunci-kunci sederhana untuk kebangkitan kembali Indonesia meraih kejayaan.

Belajar dari bangsa lain
Demi mengembalikan kejayaannya, Indonesia mesti becermin dan belajar dari bangsa lain. Mengapa bangsa tertentu dapat meraih kesuksesan dan mengapa bangsa lain mengalami keterpurukan?

Menurut Heppy, kunci sukses suatu bangsa terletak pada aspek kualitas dan mentalitas manusianya (SDM), dan bukan semata pada kekayaan alamnya (SDA). Bangsa bermentalitas unggul-lah yang sukses meraih kejayaan. Bangsa seperti ini perlu ditiru dan dijadikan teladan bagi Indonesia.

Heppy Trenggono juga memaparkan tipologi bangsa-bangsa di dunia ke dalam empat jenis. Pertama, bangsa terbelakang, yaitu bangsa yang hidup di negeri miskin sumber daya alam (SDA), sementara mereka juga tidak memiliki mentalitas manusia unggul: etos kerja rendah, lemah semangat juang, minim penguasaan IPTEK, tidak terampil dan kreatif.

Karena rendah kualitas SDM sementara SDA negerinya terbatas, bangsa jenis ini selalu menggantungkan hidupnya pada bangsa lain. Tidak hanya dibelit masalah ekonomi, bangsa seperti ini sering pula didera kekacauan sosial: konflik antarsuku, agama, dan rasial. Kriminalitas yang tinggi juga menghiasi wajah negerinya yang sudah muram oleh kemiskinan.

Kedua, bangsa bodoh. Negerinya kaya SDA tetapi SDM bangsanya tak unggul. Kekayaan alam yang berlimpah tidak menjadikan bangsa jenis ini dapat menuai kemakmuran dan kesejahteraan. Sebaliknya, minimnya penguasaan IPTEK, rendahnya etos kerja dan semangat juang, serta tipisnya kemandirian dan kepercayaan diri sebagai bangsa unggul menempatkan bangsa bodoh menjadi sasaran “jajahan” bangsa lain.

Ketiga, bangsa pejuang. Termasuk bangsa jenis ini antara lain Jepang, Singapura, dan Swiss. Jepang adalah negeri dengan SDA terbatas. Sebagian besar wilayahnya merupakan pegunungan dan hanya sedikit lahan yang bisa ditanami tetumbuhan produktif. Selain itu, 64 tahun silam—bersamaan dengan Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya—negeri ini juga sempat hancur akibat dibom atom oleh tentara Sekutu.

Namun, dengan semangat juang yang kuat, keterbatasan SDA dan kekalahan dalam Perang Dunia justru menjadi “titik balik” bagi bangsa Samurai untuk meraih kejayaannya. Dan kini, Jepang tampil sebagai raksasa ekonomi dunia di bidang otomotif dan elektronik. Adakah penentu lain kesuksesan itu di luar faktor kualitas dan mentalitas bangsanya?

Keempat, bangsa superstar, tak lain adalah bangsa yang bermentalitas (SDM) unggul sekaligus kaya SDA. Kekayaan alam dipadu penguasaan IPTEK yang sempurna serta etos kerja dan kepercayaan diri yang kuat menjadikan bangsa superstar tampil dominan di jagat internasional. Inilah bangsa avant garde yang memegang pengaruh besar di segala ranah kehidupan antar-bangsa. Negara-negara maju di belahan Amerika dan Eropa—seperti Amerika Serikat, Kanada, Jerman, Prancis, atau Inggris, juga China di Asia—termasuk bangsa superstar.

Kunci sukses
Kekayaan alam bumi Nusantara sangat potensial menjadikan Indonesia sebagai bangsa superstar. SDA yang berlimpah ini harus diimbangi dengan kualitas dan mentalitas SDM yang mumpuni. Nah, buku ini juga mengelaborasi secara rinci kualitas dan mentalitas SDM tersebut ke dalam tiga belas prinsip kunci untuk menjadi bangsa pintar.

Salah satu prinsip itu yakni prinsip sebagai bangsa pemain. Indonesia sebenarnya pernah menjadi bangsa pemain di jagat perpolitikan dan ekonomi internasional. Tak lama setelah proklamasi kemerdekaan, di bawah komando Bung Karno, Indonesia menjadi pemain kunci dalam mobilisasi kekuatan negara Dunia Ketiga untuk menolak kolonialisme dan imperialisme.

Kepiawaian Indonesia sebagai bangsa pemain tecermin dari keterlibatannya sebagai tuan rumah Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955, juga kepeloporannya dalam pembentukan Gerakan Non Blok (GNB)—varian politik independen dari dua blok mainstream: Blok Kapitalis dan Blok Komunis. Atas peran kunci Indonesia di ajang KAA, bangsa Afrika menghargai Indonesia dengan mencantumkan “Soekarno” dan “Bandung” sebagai nama jalan di Maroko.

Buku ini menyuguhkan kunci-kunci sederhana untuk kebangkitan kembali Indonesia meraih kejayaannya. Tiga belas prinsip menjadi bangsa pintar yang tercakup di dalamnya merupakan kiat-kiat sederhana namun kerapkali luput dan terabaikan oleh pikiran segenap anak bangsa. “Buku ini menawarkan banyak inspirasi untuk kebangkitan dan kejayaan Indonesia,” ujar Heppy, pemilik perusahaan United Balimuda Grup yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit dan industri makanan itu.[]

Catatan:
Resensi dimuat di harian Republika [Ahad, 4 Oktober 2009] tanpa mencantumkan nama saya sebagai penulisnya.

________________________________

DATA BUKU
Judul: Menjadi Bangsa Pintar
Penulis: Heppy Trenggono
Penerbit: Penerbit Republika
Cetakan: I, Juli 2009
Ukuran: 20,5 x 13,5 cm
Tebal: vi + 164 halaman
ISBN: 978-979-1102-60-5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar