____________________
Membaca tabloid Tekad tiga edisi terakhir sangat menarik, terutama rubrik ‘Surat dan Pendapat’ yang memuat perdebatan sengit menanggapi tulisan Nurcholish Madjid yang berjudul “Jalan Lurus” (Tekad Edisi 44/II). Dalam Tekad Edisi 45/II, Sdr Hartono Ahmad Jaiz menilai tulisan “Jalan Lurus” Cak Nur mengandung kesesatan.
Tulisan Sdr Hartono selanjutnya ditanggapi oleh Sdr Jalaluddin Hamzah, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jakarta, melalui tulisannya bertajuk “Fatsoen Cak Nur, Hartono Emosional” (Tekad Edisi 46/II). Di mata Hartono, tanggapan tersebut dianggap tidak didasari argumentasi, dan hanya menekankan kembali apa yang ditulis Cak Nur. Padahal, menurut Hartono, tulisan Cak Nur itulah yang mejadi persoalan. Karena itu, dalam Tekad Edisi 47/II, Hartono kembali memberikan penjelasan mengapa ia mempersoalkan “Jalan Lurus” Cak Nur.
Yang jadi persoalan bagi Hartono adalah tulisan Cak Nur: “Kalau kita baru sampai iyyaaka na’budu berarti kita masih mengklaim diri kita mampu menyembah. Tetapi kalau sudah wa iyyaaka nasta’ien, maka kita lebur, menyatu dengan Tuhan.” Juga terhadap tulisan Cak Nur yang berbunyi: “Perlu diberi catatan di sini mengenai sifat sombong (al-mutakabbir) Allah dalam asmaul husna, yang kita malah disuruh menirunya. Memang, kita harus juga punya sifat sombong, tapi porsinya tidak besar, hanya sampai pada tingkat kita punya harga diri.” Pendapat tersebut oleh Hartono dianggap bertentangan dengan ayat maupun hadis.
Dalam kesempatan ini, saya tidak bermaksud mempersoalkan gagasan Cak Nur dalam Fatsoen “Jalan Lurus” maupun gagasan Hartono yang tidak menerima serta menganggap sesat pendapat Cak Nur. Saya hanya mencoba mendudukkan polemik ini secara proporsional. Sejauh saya amati, polemik ini hanyalah problem tentang cara melakukan pembacaan sebuah teks—para ahli tafsir modern menyebutnya problem hermeneutik. Semoga saja tulisan ini tidak menambah polemik baru bagi khalayak yang turut serta memperhatikan perbincangan ini.
Sekadar mengingatkan Sdr Hartono, yang dalam konteks ini sebagai pembaca yang melakukan dialog dengan ide dalam “Jalan Lurus” Cak Nur sebagai sebuah teks. Dalam posisi ini, Cak Nur adalah seorang penafsir-pengarang teks. Dalam konteks dialog itu, gagasan Cak Nur (sebagai penafsir-pengarang) dalam “Jalan Lurus” (sebagai sebuah teks) semestinya tidak hanya dibaca melalui sistem tanda bahasanya, yang secara apriori melupakan situasi historis yang melingkupi sang penafsir-pengarang teks.
Lebih dari itu, untuk menemukan makna dalam teks tersebut sebagaimana makna yang dikehendaki Cak Nur (sebagai sang pengarang teks), Sdr Hartono (sebagai pembaca) seyogyanya memperhatikan, memahami, dan menganalisis situasi psikologis Cak Nur ketika memproduksi gagasan yang tertuang dalam teks tersebut. Terutama, dalam konteks apa makna dari gagasan itu dimunculkan dan dihadirkan ke publik. Hal ini sangat penting dilakukan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam menangkap makna-pesan teks. Dengan demikian, diharapkan tidak terjadi “penghakiman” dari pembaca yang “memvonis” gagasan Cak Nur sebagai pikiran yang menyesatkan.
Kembali sekadar mengingatkan Sdr Hartono terkait tanggapannya terhadap pendapat Cak Nur dalam menafsirkan ayat iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’ien dalam surat al-Fatihah di atas—mengingat adanya ungkapan dari Sdr Hartono yang, menurut saya, tidak proporsional dan terkesan merendahkan serta meragukan kapabilitas Cak Nur sebagai pemikir Muslim terkemuka.
Ungkapan Sdr Hartono tersebut berbunyi, “Mengingat pentingnya ayat tersebut, maka ayat itu sama sekali tidak boleh ditafsirkan secara sembarangan” (Tekad, 47/II). Tentu saja, kalau ungkapan ini kita baca dalam konteks ketidaksepakatan beliau atas pendapat Cak Nur, maka mafhum mukholafah ungkapan ini berarti bahwa Cak Nur telah bertindak sembarangan dan sembrono dalam menafsirkan ayat tersebut. Apalagi Sdr Hartono juga mempertentangkan penafsiran Cak Nur dengan penafsiran ulama Ibnu al-Qoyyim.
Sdr Hartono mengatakan, “Menurut Ibnu al-Qoyyim, ulama kaliber dunia (691-751 H), lafadz nasta’ien itu wasilah (sarana), sedangkan na’budu itu ghoyah (tujuan). Karena, makhluk jin dan manusia diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah. Sedangkan penafsiran Nurcholish Madjid di atas jelas bertentangan dengan penjelasan Ibnu al-Qoyyim. Nasta’ien menurut Ibnu al-Qoyyim wasilah (sarana), namun Nurcholis meletakkannya sebagai ghoyah (tujuan), itu pun ditafsirkan dalam makna ghoyah menurut paham tasawuf yang dinyatakan sesat oleh para ulama—yaitu hullu wal ittihaad, lebur dan menyatu dengan Tuhan.”
Dalam hal ini, perlu diperhatikan mengapa Sdr Hartono memposisikan Cak Nur dengan Ibnu al-Qoyyim secara bertentangan, tanpa melacak kerangka metodologi yang menjadi pijakan masing-masing ketika menafsirkan ayat tersebut. Padahal situasi sosio-psikologis kedua penafsir tersebut jelas berbeda, terutama dalam konteks apakah yang melatarbelakangi penafsiran ayat di atas. Lagi pula, jelas terdapat perbedaan antara keduanya dalam masa dan tempat yang juga mempengaruhi produk tafsirnya.
Pertanyaannya, penafsiran siapakah yang dianggap paling benar? Lantas, kriteria dan kategori apamacam apakah yang dijadikan standar untuk menilai bahwa penafsiran Cak Nur salah dan penafsiran Ibnu al-Qoyyim benar, atau sebaliknya. Bukankah kedua hanyalah seorang penafsir yang sama-sama terikat oleh dimensi kesejarahan masing-masing?
Dalam konteks itu, seyogyanya tidak terjadi “penghakiman” terdahap penafsiran tertentu, apalagi klaim kebenaran. Wallaahu a’lamu bi al-shawaabi.[]
______________________
Catatan:
______________________
Catatan:
Tulisan ini dimuat di tabloid Tekad (Edisi 48/II, 8-15 Maret 2000), sebagai tanggapan atas polemik terkait tulisan Nurcholis Madjid (Cak Nur) dalam rubrik Fatsoen bertajuk “Jalan Lurus”. Dengan dimuatnya tulisan ini, redaktur Tekad mengakhiri dan menutup polemik tersebut. Saya menulis pendapat ini dalam kapasitas saya sebagai mahasiswa Fakultas Syariah IAIN/UIN Sunan Kalijaga Jogjajakarta, yang kala itu cukup instens menyimak pikiran-pikiran Cak Nur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar